Eramuslim.com – Dalam insiden yang mengguncang nurani dunia, Rima Hassan, anggota Parlemen Uni Eropa asal Prancis dan keturunan Palestina, menjadi sasaran ancaman kekerasan fisik oleh polisi Israel setelah menolak menandatangani surat deportasi. Hassan, yang baru saja terpilih mewakili partai sayap kiri La France Insoumise dan dikenal luas atas pembelaannya terhadap rakyat Palestina, ditangkap dari kapal bantuan Madleen, bagian dari Freedom Flotilla yang dicegat secara ilegal oleh Israel di perairan internasional.
Menurut jurnalis Al Jazeera Omar Faiad, yang turut ditahan dan kemudian dibebaskan, salah satu petugas Israel mengancam Hassan dengan ucapan:
“Saya akan hancurkan kepalamu ke tembok kalau kamu tidak menandatangani. Kami akan urus ini dengan cara kami sendiri.”
Ancaman kejam ini bukan hanya pelanggaran terhadap martabat Hassan sebagai wakil rakyat Eropa, tetapi juga menjadi simbol bagaimana kekuasaan digunakan untuk membungkam suara-suara kemanusiaan.
Hassan bukan sosok sembarangan. Ia membuat sejarah sebagai perempuan Prancis-Palestina pertama yang duduk di Parlemen Uni Eropa, dan kini menjabat di Komite Urusan Luar Negeri serta Subkomite Hak Asasi Manusia. Ia dijuluki “Lady Gaza”, sebuah panggilan yang menggambarkan konsistensinya membela Palestina di tengah tekanan politik dan media.
Namun keberaniannya dibayar mahal. Pada Februari 2025, pemerintah Prancis menyelidikinya atas dugaan “membela terorisme” hanya karena menyebut Israel sebagai entitas kolonial fasis yang melakukan genosida di Gaza. Ia telah menjadi salah satu suara paling lantang menyerukan gencatan senjata dan memperjuangkan keadilan bagi Gaza yang tercekik dalam blokade.
Selain Hassan, aktivis asal Brasil, Thiago Avila, juga mengalami kekerasan saat ditangkap. Dipukul dan ditahan tanpa akses ke pengacara selama lebih dari 24 jam, Avila kini melakukan mogok makan dan minum sebagai bentuk perlawanan atas perlakuan tak manusiawi.
Kapal Madleen, yang ditumpangi para aktivis dari berbagai negara, termasuk Greta Thunberg dari Swedia, bertujuan mengirimkan bantuan ke Gaza — wilayah yang kini berada di ambang kelaparan. Tapi niat mulia itu dihentikan paksa oleh kapal perang Israel pada 9 Juni. Empat aktivis memilih menandatangani surat deportasi, tetapi delapan lainnya — termasuk Hassan — tetap menolak dan kini ditahan di Penjara Givon, Ramla, di bawah tuduhan sebagai “penyusup ilegal”.
Tim hukum menegaskan bahwa kapal Madleen tidak pernah memasuki wilayah teritorial Israel, dan membawa paksa penumpangnya ke tanah Israel adalah pelanggaran berat terhadap hukum internasional. Kapal itu, kata mereka, sedang menuju “perairan Negara Palestina”.
Sebelum kapal disergap, Rima Hassan sempat berbicara melalui video, nelayan perempuan pertama di Gaza dan inspirasi dari nama kapal tersebut. Hassan berkata, “Impian terbesarku adalah bisa menginjakkan kaki di Gaza suatu hari nanti.”
Bagi Kulab, yang kini tinggal di reruntuhan rumahnya bersama empat anak dan tengah mengandung anak kelima, flotilla itu adalah secercah harapan di tengah kehancuran.
“Pesan mereka telah sampai,” ucapnya lirih kepada Al Jazeera. “Tapi aku tak lagi punya kata-kata untuk meminta siapa pun agar peduli.”
Kulab telah kehilangan seluruh alat tangkapnya — satu-satunya sumber nafkahnya — akibat serangan udara. Kini, tanpa makanan, tanpa penghasilan, dan tanpa rasa aman, ia bertahan di Gaza yang terus digempur dan dipenjara oleh blokade.
Nasib Rima Hassan dan para aktivis lainnya kini berada di ujung penantian. Keputusan soal deportasi mereka akan diumumkan dalam waktu dekat. Tapi pertanyaannya lebih besar dari sekadar status hukum: Akankah dunia membiarkan suara-suara damai dan solidaritas terus dibungkam dengan kekerasan?
Sumber: Thecradle.co dan Aljazeera