Tragedi Femisida di Padang Pariaman: Saat Nyawa Perempuan Diremehkan dan Hukum Tertinggal

Eramuslim.com – Kota Padang Pariaman diguncang kasus pembunuhan berantai kejam yang menewaskan tiga perempuan muda. Tersangka utamanya, Satria Johanda alias Wanda (25), ditangkap polisi setelah ditemukan bukti kuat keterlibatannya dalam kasus pembunuhan dan mutilasi terhadap Septia Adinda (23) pada 15 Juni 2025. Potongan tubuh Septia ditemukan di Sungai Batang Anai, dan identitasnya dikenali dari cincin yang masih melingkar di jarinya.

Namun pengakuan Wanda tak berhenti sampai di situ. Ia kemudian mengaku telah membunuh dua perempuan lain, yakni Siska Oktavia Rusdi (23) dan Adek Gustiana (24) yang sempat dilaporkan hilang sejak Januari 2024. Jasad keduanya ditemukan di dalam sumur tua di belakang rumah pelaku.

Motifnya terdengar mengerikan—cemburu dan dendam. Siska adalah kekasih Wanda yang dianggap terlalu dekat dengan pria lain, sementara Adek dibunuh karena dianggap perantara hubungan itu.

Bukan Sekadar Pembunuhan, Ini Femisida

Menurut Komnas Perempuan, kasus ini masuk dalam kategori femisida—yaitu pembunuhan terhadap perempuan karena jenis kelaminnya. “Unsur dominasi dan rasa kepemilikan laki-laki terhadap perempuan sangat terlihat di sini,” jelas Komisioner Sri Agustini.

Komnas mencatat, lebih dari 1.000 kasus femisida terjadi dalam lima tahun terakhir. Sayangnya, istilah femisida sendiri belum dikenal dalam hukum Indonesia. Akibatnya, pembunuhan seperti ini sering diperlakukan layaknya kasus kriminal biasa, tanpa mempertimbangkan relasi kuasa dan kekerasan berbasis gender di baliknya.

Mengapa Femisida Sulit Diakui dalam Hukum Indonesia?

Dhia Al Uyun, akademisi dari Universitas Brawijaya, menjelaskan bahwa hukum Indonesia masih bersifat netral gender dan belum sensitif terhadap kejahatan berbasis patriarki. “Padahal pembunuhan terhadap perempuan dalam sistem masyarakat patriarkis tidak bisa disamakan dengan kasus pembunuhan biasa,” katanya.

Pendapat serupa datang dari Rafiqa Qurrata Ayun dari Fakultas Hukum UI. Ia menilai penting adanya pasal khusus yang bisa memperberat hukuman pelaku jika terbukti ada unsur kebencian atau dominasi terhadap perempuan. Negara-negara seperti Meksiko, Kanada, dan Belgia sudah mengadopsi pendekatan ini, dengan mengklasifikasikan femisida sebagai kejahatan serius dengan hukuman lebih berat dari pembunuhan biasa.

Hukum Tertinggal, Korban Terlupakan

Karena tidak ada pengakuan hukum terhadap femisida di Indonesia, banyak korban tidak mendapatkan perlindungan atau keadilan yang layak. Mekanisme hukum yang ada juga tidak mampu membedakan konteks gender dalam kekerasan. Akibatnya, pelaku kekerasan terhadap perempuan sering lolos dengan hukuman ringan, tanpa menyentuh akar persoalan yang sebenarnya.

Kasus di Padang Pariaman adalah peringatan keras bahwa kekerasan terhadap perempuan bisa berujung pada kematian, dan negara tidak boleh lagi menutup mata. Jika hukum tidak segera berubah untuk mengakui femisida sebagai kejahatan berat, maka nyawa-nyawa perempuan lainnya akan terus dipertaruhkan di tengah sistem hukum yang abai dan patriarkis.

Sumber: Tempo.co

Beri Komentar