Komitmen Iklim Global Masih Timpang, Negara Miskin Menunggu Dukungan Nyata

Eramuslim.com – Di seluruh dunia, sebagian besar negara telah menyepakati target masing-masing demi menahan laju pemanasan global. Tekanan untuk merealisasikan komitmen tersebut kian meningkat, seiring waktu yang terus berjalan. Target iklim nasional—dikenal dengan istilah Nationally Determined Contributions (NDCs)—menjadi inti dari Perjanjian Paris, di mana negara-negara berkomitmen menjaga kenaikan suhu global tetap di bawah 2°C dan berupaya maksimal menekannya hingga 1,5°C.

NDC merupakan pernyataan resmi setiap negara terkait strategi dan upaya mereka dalam mengatasi krisis iklim global, sebagaimana disepakati dalam Paris Agreement di bawah United Nations Framework Convention on Climate Change(UNFCCC). Dokumen ini memuat target, rencana, dan kebijakan pengurangan emisi karbon, yang harus diperbarui setiap lima tahun.

Meskipun peningkatan suhu terlihat kecil, dampaknya bisa sangat merusak—mulai dari badai yang lebih kuat, banjir besar, kekeringan ekstrem, hingga gelombang panas yang mematikan.

Setiap lima tahun, 195 negara yang menandatangani kesepakatan diwajibkan menyerahkan tujuan iklim baru yang lebih ambisius. Meskipun tak mengikat secara hukum, dokumen ini mencerminkan keseriusan negara dalam menurunkan emisi dan beradaptasi terhadap dampak iklim yang kian terasa.

“Ini juga kesempatan emas bagi tiap negara untuk, dalam satu dokumen kebijakan, memadukan rencana kemakmuran ekonomi dengan kebijakan iklim, menjadikannya peta jalan menuju ekonomi berkelanjutan,” kata Steffen Menzel dari lembaga pemikir E3G. Sebenarnya, semua negara diharapkan telah menyampaikan pembaruan NDC pada Februari lalu, namun baru 22 negara yang memenuhi tenggat waktu tersebut.

Negara-negara besar penghasil emisi seperti Jepang dan Inggris termasuk yang telah menyerahkan NDC baru. Pemerintahan Joe Biden juga sempat mengajukan rencana dekarbonisasi Amerika Serikat, sebelum masa kepemimpinan digantikan oleh Donald Trump yang menarik AS dari kesepakatan tersebut.

Sejumlah negara masih memfinalisasi target mereka. “Mereka ingin memastikan bahwa asumsi-asumsinya masuk akal dan selaras dengan kenyataan politik dan prioritas domestik,” jelas Jamal Srouji dari World Resources Institute.

“Yang paling menjadi perhatian sekarang adalah soal daya saing: memastikan mereka tidak tertinggal dalam teknologi yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi… Ketahanan energi nasional, terutama dalam beberapa tahun terakhir, menjadi alasan utama mengapa isu iklim tetap berada di garis depan kebijakan,” ujarnya kepada DW.

Indonesia pertama kali menyerahkan dokumen NDC pada 2016. Kemudian pada 2022, pemerintah meningkatkan komitmennya: target penurunan emisi gas rumah kaca dari 29% menjadi 31,89% dengan usaha sendiri, serta dari 41% menjadi 43,2% dengan dukungan internasional. Namun, untuk NDC versi kedua yang seharusnya disampaikan Februari 2025, pemerintah Indonesia belum juga menyerahkannya, karena masih menunggu persetujuan dari Presiden Prabowo Subianto.

Kondisi ini berbeda dengan negara-negara miskin seperti Chad, Kongo, dan Bangladesh. Nafkote Dabi dari Oxfam International menjelaskan bahwa mereka enggan menetapkan target ambisius karena minimnya pendanaan. “Mereka takut berkomitmen pada hal-hal besar, tanpa ada dana untuk mewujudkannya,” katanya. Ia menambahkan bahwa negara-negara kaya seharusnya menanggung tanggung jawab lebih besar secara moral dan historis, mengingat kapasitas finansial dan teknologinya.

Di konferensi iklim terakhir di Azerbaijan, negara-negara maju berjanji akan menyediakan dana USD300 miliar untuk mendukung negara berkembang, dengan target jangka panjang sebesar USD1,3 triliun. Namun hingga kini, belum jelas bagaimana dana tersebut akan dikumpulkan dan disalurkan.

Meski seluruh negara, termasuk yang beremisi rendah seperti Kenya, perlu punya NDC, para pakar menilai dampak paling besar tetap datang dari negara-negara emitor utama. Kelompok G20—termasuk Cina, Amerika Serikat, Jerman, Australia, dan Rusia—bertanggung jawab atas sekitar 80% emisi dunia. “Mereka belum melakukan cukup untuk menurunkan gas rumah kaca,” ujar Dabi.

“Transformasi yang dibutuhkan sangat besar, dan itu tak boleh dibebankan pada komunitas termiskin,” tambahnya.

Walau tantangan masih besar, para ahli meyakini bahwa kerangka kerja dari Perjanjian Paris telah membawa dampak yang signifikan. “Saya tak ingin mengatakan semuanya berjalan lancar… tapi saya percaya bahwa sistem yang kita bangun satu dekade lalu telah mengubah dunia,” kata Menzel.

Meskipun janji-janji iklim dalam NDC tidak bersifat mengikat, menurut Srouji, komitmen yang diumumkan secara terbuka menempatkan negara-negara dalam sorotan. “Setiap kali sebuah negara berdiri di panggung dunia dan mengumumkan rencananya, mundur dari komitmen itu akan memicu sorotan tajam dari seluruh penjuru dunia.”

Sumber: DW News

Beri Komentar